Hadroh MA Almukhtar diadakan untuk mewujudkan rasa mahabah dan Pujian terhadap Rasulullah baik dalam bentuk prosa maupun syair,
telah ada sejak zaman Rasululah SAW lewat bait-bait gubahan tiga penyair
terkenal yaitu Hasan ibn Tsabit, Abdullah ibn Rawahah dan Ka’ab ibn
Malik. Nabi justru sangat terkesan dengan keindahan syair (qasidah) yang
disampaikan oleh Ka’ab ibn Zuhayr ibn Abi Salma. Karena rasa sukanya,
Nabi Muhammad pernah menghadiahkan selendang (burdah) untuk Ka’ab.
Hadrah atau lebih populer dengan sebutan terbangan perkembangannya tak lepas dari sejarah dakwah Islam. Seni ini memiliki semangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada yang tahu secara persis, kapan datangnya musik hadrah di Indomesia. Namun hadrah atau yang lebih populer dengan musik terbangan (rebana bahasa jawa) tersebut tak lepas dari sejarah perkembangan dakwah Islam para Wali Songo.
Hadrah atau lebih populer dengan sebutan terbangan perkembangannya tak lepas dari sejarah dakwah Islam. Seni ini memiliki semangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada yang tahu secara persis, kapan datangnya musik hadrah di Indomesia. Namun hadrah atau yang lebih populer dengan musik terbangan (rebana bahasa jawa) tersebut tak lepas dari sejarah perkembangan dakwah Islam para Wali Songo.
Sanjungan yang sering disampaikan para shahabat ini bersifat metaforik
dan gaya simbolik sehingga mengilhami syair dan prosa dalam kitab-kitab
Malid semisal al-Barzanji, ad-Diba’i, atau qasidah al-Burdah.
Adalah Imam Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Zaid as-Shanhaji
al-Bushiri (1213-1296 M/610-695 H) ahli hadis, penulis, sekaligus
sastrawan kondang asal Mesir yang menulis 162 syair burdah. Semasa
hidupnya al-Bushiri pernah berguru kepada Imam as-Syadzili (pendiri
Tarikat Sadziliyah) dsn penerusnya Abdul Abbas al-Mursi.
Sajak-sajak Burdah yang 162 bait itu terdiri dari 10 bait tentang cinta,
16 tentang hawa nafsu, 30 tentang pujian terhadap Rasulullah SAW, 19
tentang kelahirannya, 10 tentang pujian terhadap al-Qur’an, 3 tentang
Isra’ Mi’raj, 22 tentang jihad, 14 tentang istighfar, selebihnya (38
bait) tentang tawassul dan munajad.
Al-Bushairi memulai karyanya
dengan membuka pertanda mabuk asmara dengan bercucuran air mata dan
kegalauan hati. Tetapi ia mengingatkan bahwa tetesan air mata dan
kegalauan itu tak selamanya menandakan cinta, karena didepan telah ada
hawa nafsu yang siap membelokkan arah. “Nasfu ibarat anak kecil yang
jika dibiarkan akan terus menyusu hingga masa mudanya, tapi jika
dihentikan sedikit demi sedikit, ia akan berhenti dengan sendirinya.”
(Bait ke-19).
Bagi al-Bushiri nafsu seolah binatang gembala yang
harus terus dijaga setiap saat. Sekalipun ia terlihat tenang ketika
menikmati makanan rumput yang hijau, tetap jangan lengah.” (Bait ke-21).
Setelah menyadari bahwa nafsu selalu dinahkodai setan, maka al-Bushiri
memperkenalkan sosok yang seluruh tenaga, pikiran, hati dan waktunya
dihabiskan untuk kebenaran yaitu Nabi Muhammad SAW. Segala hinaan,
permusuhan, lemparan batu dan kotoran, hingga usaha pembunuhan
diterimanya dengan penuh ketabahan.
Al-Bushairi menyadari bahwa
betapapun besar pujinya untuk Nabi SAW, namun semua tidak menambah
kemuliaan dan kedudukan Nabi. Di puji dan tidak pun Nabi Muhammad akan
tetap mulia karena kemuliaan itu telah melekat dalam dirinya.
Sementara dalam kitab al-Barzanji karya Syekh Jafar Al Barzanji ibn
Husin ibn Abdul Karim (1690-1766 M), sebagian syairnya mengungkapkan
adanya rasa kerinduan akan hadirnya seorang pemimpin seperti Nabi
Muhammad SAW yang tegas, jujur dan bijaksana.
Karya sastra yang
begitu masyhur di Tanah Air ini bahkan pernah disyarah (dijabarkan) oleh
Syekh Nawawi al-Bantani dengan judul Madarijus Shu`ud ila Iktisa`
al-Burud. Penulisan Kitab Barzanji juga tidak terlepas dari sejarah
panjang konflik militer dan politik antara umat Islam dan umat Kristen
Barat dalam Perang Salib. Selama Perang Salib berlangsung, Sultan
Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M) mengobarkan semangat perjuangan
dengan meneladani perjuangan Nabi Muhammad dalam peringatan Maulid Nabi.
Segenap ulama seperti Imam Syafi’i, Hasan Basri dan Ibnu Taimiyah
sepakat bahwa pujian terhadap Nabi Muhammad SAW adalah hal yang wajar
asal tak sampai mengangkat derajad kemanusiaan (Nabi Muhammad) ketingkat
ketuhanan (deity). Syair Burdah dan Barzanji secara tidak langsung
memiliki kekuatan yang akan membawa hati dan pikiran manusia terbawa
hanyut dalam pesona cinta (mahabbatur Rasul).
Budaya di Indonesia
Pasca kemerdekaan, perkembangan musik hadrah di Indonesia tak terlepas
dari peranan Ikatan Seni Hadrah Indonesia (Ishari). Ishari adalah salah
satu badan otonom yang berada di bawah organisasi Nahdlatul Ulama (NU),
disahkan pada tahun 1959. Pengorganisasian dan nama ISHARI diusulkan
oleh salah seorang pendiri NU yakni KH Wahab Chasbullah.
Menurut
Gus Hasib, putra KH Wahab Hasbullah, semasa hidup, Kiai Wahab sangat
senang hadrah. Bahkan kalau sedang diam tangannya suka memukul-mukul
sebagai isyarat memukul terbang (hadroh: red) sambil melagukan bacaan
sholawat. Karena ia juga senang berorganisasi akhirnya kelompok hadrah
dibuatkan wadah perkumpulan dibawah organisasi NU dengan nama ISHARI
atau Ikatan Seni Hadroh Republik Indonesia.